Friday, 18 December 2009

PERTUMBUHAN PENDUDUK

Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi menggunakan "per waktu unit" untuk pengukuran. Sebutan pertumbuhan penduduk merujuk pada semua spesies, tapi selalu mengarah pada manusia, dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai pertumbuhan penduduk, dan digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk dunia.


Nilai pertumbuhan penduduk dunia

Nilai pertumbuhan penduduk tahunan dalam persen, tertulis di CIA World Factbook (perkiraan 2006).

Ketika pertumbuhan penduduk dapat melewati kapasitas muat suatu wilayah atau lingkungan hasilnya berakhir dengan kelebihan penduduk. Gangguan dalam populasi manusia dapat menyebabkan masalah seperti polusi dan kemacetan lalu lintas, meskipun dapat ditutupi perubahan teknologi dan ekonomi. Wilayah tersebut dapat dianggap "kurang penduduk" bila populasi tidak cukup besar untuk mengelola sebuah sistem ekonomi (lihat penurunan penduduk).

Dalam demografi dan ekologi, nilai pertumbuhan penduduk (NPP) adalah nilai kecil dimana jumlah individu dalam sebuah populasi meningkat. NPP hanya merujuk pada perubahan populasi pada periode waktu unit, sering diartikan sebagai persentase jumlah individu dalam populasi ketika dimulainya periode. Ini dapat dituliskan dalam rumus: P = Poekt

\mathrm{Nilai\ pertumbuhan} = \frac{(\mathrm{populasi\ di\ akhir\ periode}\ -\ \mathrm{populasi\ di\ awal\ periode})} {\mathrm{populasi\ di\ awal\ periode}}

Cara yang paling umum untuk menghitung pertumbuhan penduduk adalah rasio, bukan nilai. Perubahan populasi pada periode waktu unit dihitung sebagai persentase populasi ketika dimulainya periode. Yang merupakan:

\mathrm{Rasio\ pertumbuhan} = \mathrm{Nilai\ pertumbuhan} \times 100%.

Piramida penduduk adalah dua buah diagram batang, pada satu sisi menunjukkan jumlah penduduk laki-laki dan pada sisi lainnya menunjukkan jumlah penduduk perempuan dalam kelompok interval usia penduduk lima tahunan. Penduduk laki-laki biasanya digambarkan di sebelah kiri dan penduduk wanita di sebelah kanan. Grafik dapat menunjukkan jumlah penduduk atau prosentase jumlah penduduk terhadap jumlah penduduk total.

Dengan mengamati bentuk piramida penduduk (serta bentuk piramida penduduk dari waktu ke waktu), banyak informasi yang didapat mengenai struktur kependudukan sebuah wilayah.

PENDUDUK DUNIA

Orang pertama yang mengakui dirinya sebagi penduduk dunia adalah filsuf Stoisisme (lihat Zeno dari Citium). Penduduk dunia adalah orang yang melewati pembedaan geopolitikal seperti penduduk nasional di berbagai negara berdaulat. Dengan menolak untuk menerima identitas patriotik yang didikte oleh pemerintah nasional mana pun, mereka mengklaim diri kemerdekaan mereka sebagai warga Bumi, dunia, atau lebih jauh lagi kosmos.

Pandangan penduduk dunia memiliki filosofi bahwa penduduk dunia:

  • tidak ingin dikategorikan oleh kategori buatan yang dipaksakan
dan/atau
  • ingin mengidentifikasi diri mereka pertama dan utama sebagai manusia dan kemudian masuk ke grup di mana mereka ingin dan layak berada.
Bendera PBB

Penduduk dunia dapat juga:

  • bekerja untuk reformasi, memperkuat PBB namun cukup terdesentralisasi yang mewakilkan dan bereaksi terhadap keinginan orang dunia dan menekankan prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, mirip dengan sistem federal dalam skala nasional
dan/atau
  • bekerja menuju perkembangan lainnya untuk memperkuat identitas yang umum dan keserasian antara penduduk dunia lainnya di planet, dan juga menghormati loyalitas dan keragaman lokal dan nasional.

Penduduk dunia tidak terbatas ke kepercayaan atau ideologi tertentu, tetapi akan mengikuti di bawah ini:


HUBUNGAN KEPRIBADIAN DENGAN KEBUDAYAAN

Menurut Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari perilaku individu. Faktor biologis misalnya, sistem syaraf, proses pendewasaan, dan kelainan biologis lainnya, sedangkan faktor psikologis adalah seperti unsur temperamen, kemampuan belajar, perasaan, keterampilan, keinginan dan lain-lain. Dan yang terakhir, adalah faktor sosiologis. Kepribadian dapat mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap dan lain-lain yang khas dimiliki oleh seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain. Ketiga faktor di atas adalah faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian.

Seseorang yang sejak kecil dilahirkan sampai dewasa selalu belajar dari orang-orang disekitarnya. Secara bertahap dia akan mempunyai konsep kesadaran tentang dirinya sendiri. Lama-kelamaan perilaku-perilaku si anak akan menjadi sifat yang nantinya menghasilkan suatu kepribadian. Berikut ini adalah beberapa kebudayaan khusus yang nyata mempengaruhi bentuk kepribadian yakni:
1) Kebudayaan-kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan
Contoh: Adat-istiadat melamar di Lampung dan Minangkabau. Di Minangkabau biasanya pihak permpuan yang melamar sedangkan di Lampung, pihak laki-laki yang melamar.
2) Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda ( urban dan rural ways of life )
Contoh: Perbedaan anak yang dibesarkan di kota dengan seorang anak yang dibesarkan di desa. Anak kota bersikap lebih terbuka dan berani untuk menonjolkan diri di antara teman-temannya sedangkan seorang anak desa lebih mempunyai sikap percaya pada diri sendiri dan sikap menilai ( sense of value )
3) Kebudayaan-kebudayaan khusus kelas sosial
Di masyarakat dapat dijumpai lapisan sosial yang kita kenal, ada lapisan sosial tinggi, rendah dan menengah. Misalnya cara berpakaian, etiket, pergaulan, bahasa sehari-hari dan cara mengisi waktu senggang. Masing-masing kelas mempunyai kebudayaan yang tidak sama, menghasilkan kepribadian yang tersendiri pula pada setiap individu.

4) Kebudayaan khusus atas dasar agama
Adanya berbagai masalah di dalam satu agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan umatnya.
5) Kebudayaan berdasarkan profesi
Misalnya: kepribadian seorang dokter berbeda dengan kepribadian seorang pengacara dan itu semua berpengaruh pada suasana kekeluargaan dan cara mereka bergaul. Contoh lain seorang militer mempunyai kepribadian yang sangat erat hubungan dengan tugas-tugasnya. Keluarganya juga sudah biasa berpindah tempat tinggal.

GERAK KEBUDAYAAN

Gerak kebudayaan adalah gerak manusia yang hidup dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tadi. Gerak manusia terjadi oleh sebab hubungan-hubungan yang terjadi antar terjadi kelompok masyarakat. Kebudayaan suatu kelompok manusia jika dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda, lambat laun akan diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian manusia itu sendiri. Proses itu dinamakan akulturasi. Dalam proses alkuturasi ada unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diterima seperti: unsur kebendaan ( alat tulis menulis ), unsur-unsur yang membawa manfaat besar untuk mass media ( radio transistor ) dan unsur yang mudah disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang menerima unsur-unsur tersebut ( penggiling padi yang dengan biaya murah serta pengetahuan teknis yang sederhana. Sedangkan unsur-unsur kebudayaan yang sulit diterima misalnya: unsur yang menyangkut kepercayaan ( ideologi, falsafah hidup ) dan unsur-unsur yang dipelajari pada taraf pertama proses sosiologi (contoh : nasi ). Pada umumnya generasi muda adalah individu yang dapat dengan cepat menerina unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk melalui proses akulturasi. Sebaliknya generasi tua, lebih sukar. Hal ini disebabkan karena pada generasi tua, norma-norma yang tradisional sudah internalized ( mendarah daging, menjiwai ) sehingga sukar untuk mengubahnya.

TEORI KEBUDAYAAN

Empat teori dan pendekatan kebudayaan, yaitu:
1. Memandang kebudayaan sebagai kata benda :
Dalam arti lewat produk budaya kita mendenifisikan dan mengelola kebudayaan itu. Teori produk budaya ini juga penting karena semua hasil budaya yang ada di muka bumi merupakan produk budaya kolektif manusia. Identitas budaya dapat dilihat dari pendekatan ini.
2. Memandang kebudayaan sebagai kata kerja :
Pendekatan ini dikemukakan oleh Pleh Van Peursen. Pendekatan ini juga penting untuk dipahami, karena akan mampu menjelaskan kepada kita bagaimana proses-proses budaya itu terjadi di tengah kehidupan kita. Produk-produk budaya yang kita pahami lewat pendekatan pertama di atas ternyata juga menyiratkan adanya proses-proses budaya manusia yang oleh Van Peursen disebut ada tiga terminal proses budaya. Kehidupan mistis dimana mitos berkuasa, atau kuasa mitos mengemudikan arah kebudayaan suatu masyarakat, dilanjutkan dengan hadirnya kehidupan ontologis dan yang terakhir adalah kehidupan fungsional yang hari-hari ini lebih mendominasi kehidupan budaya kita.
3. Memandang kebudayaan sebagai kata sifat :
Ini untuk membedakan mana kehidupan yang berbudaya dan tidak berbudaya, membedakan antara kehidupan manusia yang berbudaya dan makhluk lain seperti hewan dan benda-benda yang tidak memiliki potensi budaya. Dalam memandang kebudayaan sebagai kata sifat maka unsur nilai-nilai menjadi sangat penting. Kebudayaan dikonstruksi sebagai konfigurasi nilai-nilai atau sebagai kompeksitas nilai-nilai yang kemudian beroperasi pada berbagai-bagai level kehidupan. Konfigurasi nilai yang dimiliki berbagai komunitas budaya yang berbeda kemudian melahirkan konstruksi budaya yang berbeda-beda pada komunitas budaya itu.
4. Memandang kabudayaan sebagai kata keadaan :
Kondisi-kondisi budaya tertentu menjadi menentukan wajah kebudayaan.

1. HUBUNGAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT

Banyak para ahil telah memberikan pengertian tentang masyarakat. Smith, Stanley dan Shores mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kelompok individu-individu yang terorganisasi serta berfikir tentatang diri mereka sendiri sebagai suatu kelompok yang berbeda. (Smith, Stanley, Shores, 1950, p. 5).


Dari pengertian tersebut di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa masyarakat itu kelompok yang terorganisasi dan masyarakat itu suatu kelompok yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok yang lain. Oleh karena itu orang yang berjalan bersama-sama atau duduk bersama-sama yang tidak terorganisasi bukanlah masyarakat. Kelompok yang tidak berpikir tentang kelompoknya sebagai suatu kelompok bukanlah masyarakat. Oleh karena itu kelompok burung yang terbang bersama dan semut yang berbaris rapi bukanlah masyarakat dalam arti yang sebenarnya sebab mereka berkelompok hanya berdasarkan naluri saja


Znaniecki menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang meliputi unit biofisik para individu yang bertempat tinggal pada suatu daerah geografis tertentu selama periiode waktu tertentu dari suatu generasi. Dalam sosiology suatu masyarakat dibentuk hanya dalam kesejajaran kedudukan yang diterapkan dalam suatu organisasi. (F Znaniecki, 1950, p. 145),


Jika kita bandingkan dua pendapat tersebut di atas tampak bahwa pendapat Znaniecki tersebut memunculkan unsur baru dalam pengertian masyarakat yaitu masyarakat itu suatu kelompok yang telah bertempat tinggal pada suatu daerah tertentu dalam lingkungan geografis tertentu dan kelompok itu merupakan suatu sistem biofisik. Oleh karena itu masyarakat bukanlah kelompok yang berkumpul secara mekanis akan tetapi berkumpul secara sistemik. Manusia yang satu dengan yang lain saling memberi, manusia dengan lingkungannya selain menerima dan saling memberi. Konsep ini dipengaruhi oleh konsep pandangan ekologis terhadap satwa sekalian alam.


Parson menjelaskan bahwa suatu sistem sosial di mana semua fungsi prasyarat yang bersumber dan dalam dirinya sendiri bertemu secara ajeg (tetap) disebut masyarakat. Sistem sosial terdiri dari pluralitas prilaku-pnilaku perseorangan yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu lingkungan fsik. Jika masing masing individu ini berinteraksi dalam waktu yang lama dari generasi ke generasi dan terjadi pada proses sosialisasi pada generasi tersebut maka aspek ini akan menjadi aspek yang penting dalam sistem sosial. Dalam berintegrasi dan bersosialisasi ini kelompok tersebut mempergunakan kerangka acuan pendidikan.


Dari berbagai pendapat tersebut di atas maka W F Connell (1972, p. 68-69) menyimpulkan bahwa masyarakat adalah (1) suatu kelompok orang yang berpikir tentang diri mereka sendiri sebagai kelompok yang berbeda, diorganisasi, sebagai kelompok yang diorganisasi secara tetap untuk waktu yang lama dalam rintang kehidupan seseorang secara terbuka dan bekerja pada daerah geografls tertentu, (2) kelompok orang yang mencari penghidupan secara berkelompok, sampai turun temurun dan mensosialkan anggota anggotanya melalui pendidikan, (3) suatu ke orang yang mempunyai sistem kekerabatan yang terorganisasi yang mengikat anggota-anggotanya secara bersama dalam keselurühan yang terorganisasi.

Pendapat tersebut di atas tidak berbeda dengan pendapat Liton yang dikutip oleh Indan Encang (1982, p.14) yang menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tartentu.


Pengertian masyarakat tersebut di atas merupakan pengertian yang sangat luas. Penduduk Indonesia sebagai masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Penduduk yang berpikir tentang dirinya sendiri sebagai suatu kelompok yang berbeda dengan kelompok penduduk pada suatu masyarakat lain seperti penduduk Singapura, kelompok Jawa, Sunda, Banjar, Maluku, Sasak merupakan kelompok bagian dari penduduk Indonesia.

  2. Penduduk Indonesia ini secara relatif mencukupi kebutuhan diri sendiri sebagai suatu kelompok yaitu mencukupi kehidupannya dalam masyarakatnya terutama dengan bercocok tanam yang ditopang dengan perindustrian.

  3. Penduduk Indonesia telah ada sebagai kelompok sosial yang diakui pada periode waktu yang lama sampai sekarang, yaitu sejak Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

  4. Mereka hidup dan bekerja dalam beribu-ribu pulau besar dan kecil yang terletak di daerah geografis antara Samudera India dan Samudra Pasifik antara benua Asia dan Australia.

  5. Pengarahan anggota dari masyarakat Indonesia ini melalui unit-unit keluarga yang kecil seperti kelompok-kelompok etnik dan keluarga merupakan kelompok yang terkecil.

  6. Sosialisasi anak-anak melalui sekolah terutama pada anak-anak umur empat atau lima tahun sampai 18 tahun baik melalui sekolah negeri maupun swasta baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.

  7. Masyarakat Indonesia ini mengikat anggota-anggotanya melalui sistem yang digeneralisasikan dan suatu kekerabatan. Sistem ini didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, dalam kehidupan sosial politik, kehidupan ekonomi dan lapangan kehidupan yang lain. Ikatan yang paling kuat adalah adanya satu pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan dasar hukum nasional yang satu yaitu UUD 1945.

Pengertian individu :

Dalam ilmu sosial individu merupakan bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang tidak dapat dipisah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Umpama keluarga sebagai kelompok sosial yang terkecil terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah merupakan individu yang sudah tidak dapat dibagi lagi, demikian pula Ibu. Anak masih dapat dibagi sebab dalam suatu keluarga jumlah anak dapat lebih dari satu.

Hubungan individu dan masyarakat secara umum :

Hubungan antara individu dan masyarakat telah lama dibicarakan orang. Soeyono Soekanto (1981, p.4) menyatakan bahwa sejak Plato pada zaman Yunani Kuno telah ditelaah tentang hubungan individu dengan masyarakat. K. J. Veerger (1986, p. 10) lebih lanjut menjelaskah bahwa pembahasan tentang hubung individu dan masyarakat telah dibahas sejak Socrates guru Plato.


Hubungan antara individu dan masyarakat telah.banyak disoroti oleh para ahli baik para filsuf maupun para ilmuan sosial. Berbagai pandangan itu pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam tiga pendapat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa (1) masyarakat yang menentukan individu, (2) individu yang menentuk masyarakat, dan (3) idividu dan masyarakat saling menentukan.


Pandangan yang pertama terhadap hubungan antara masyarakat dan individu didasarkan bahwa masyarakat itu mempunyai suatu realitas tersendini. Masyarakat yang penting dan Individu itu hidup untuk masyarakat. Pandangan ini berakar pada realisme yaitu suatu aliran filsafat yang mengatakan bahwa konsep-konsep umum seperti manusia binatang, pohon, keadaan, keindahan dan sebagainya itu mewakili realita luar diri yang memikirkan mereka. Jadi di luar manusia yang sedang berpikir ada suatu realitas tertentu yang bersifat umum. Oleh karena itu berlaku secara umum dan tidak terikat oleh yang satu persatu. Jika mengatakan manusia itu makhluk jasmani dan rohani, maka kita membicarakan setiap manusia terlepas dan manusia yang manapun dan di manapun. Konsekuensi dari pendapat itu maka masyarakat itu merupakan suatu realitas. Masyarakat memiliki realitas tersendiri dan tidak terikat oleh unsur yang lain dan yang berlaku umum. Masyarakat yang dipindahkan oleh seseorang itu berada di luar orang yang berpikir tentang masyarakat itu sendiri. Sebelum individu ada masyarakat yang dipikirkan itu telah ada. Oleh karena itu masyarakat itu tidak terikat pada individu yang memikirkannya. Menurut K J Veerger (1986) ada tiga pandangan yang memandang masyarakat sebagai suatu realitas yaitu pandangan holistis, organis dan kolektivitis.


Pandangan holisme terhadap hubungan individu dan masyarakat. Istilah holisme berasal dan bahasa Yunani, Holos yang berarti keseluruhan. Holisme memandang secara berlebihan terhadap totalitas (keseluruhan) path kesatuan kehidupan manusia dengan mengingkari adanya perbedaan di antara manusia. Keseluruhan dipandang sebagai sesuatu hal yang melebihi dari bagian-bagian. Pandangan yang bersifat holistis ini tampak pada pandangan Aguste Comte (1798 - 1853). Menurut Aguste Comte masyarakat dilihat suatu kesatuan di mana dalam bentuk dan arahnya tidak tergantung pada inisiatif bebas anggotanya, melainkan pada proses spontan otomatis perkembangan akal budi manusia. Akal budi dan cara orang berpikir berkembang dengan sendirinya. Prosesnya berlangsung secara bertahap, merupakan proses alam yang tak terelakkan dan tak terhentikan. Perkembangan ini dikuasal Oleh hukum universal yang berlaku bagi semua orang di manapun dan kapanpun Dan pandangan Comte in dapat diketahui bahwa umat manusia itu dipandang sebagai suatu keseluruhan, individu merupakan bagian-bagian yang hidup untuk kepentingan keseluruhan.


Pandangan organisme terhadap hubungan antara individu dan masyarakat. Organisme suatu aliran yang berpendapat bahwa masyarakat itu berevolusi atau berkembang berdasarkan suatu pninsip intrinsik di dalani dirinya sama seperti halnya dengan tiap-tiap organisme atau makhluk hidup. Prinsip perkembangan ini berperan dengan lepas bebas dari kesadaran dan kemauan anggota masyarakat.


Pandangan hubungan antara individu dan masyarakat sesuai dengan konsep organisme muncul dari Herbart Spencer (1985) diringkas oleh Margaret H Poloma (1979) sebagai berikut:

  1. Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan.

  2. Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula, dimana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar Binatang yang lebih kecil, misalnya cacing tanah, hanya sedikit memiliki bagian-bagian yang dapat dibedakan bila dibanding dengan makhluk yang lebih sempurna, misalnya manusia.

  3. Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organissme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu: “mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula”. Pada manusia, hati memiliki struktur dan fungsi yang berbeda dengan paru-paru; demikian juga dengan keluarga sebagai struktur institusional memiliki tujuan yang berbeda dengan sistem politik atau alconomi.

  4. Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan. Perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga, pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama lain.

  5. Bagian-bagian tersebut, walau saling berkaitan, merupakan suatu struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan media, seperti halnya sistem politik atau sistern ekonomi merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi.

Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa menurut Spencer masyarakat dipandang sebagai organisme hidup yang alamiah dan deterministis (bebas). Semua gejala sosial diterangkan berdasarkan hukum alam. Hukum yang mengatur pertumbuhan fisik tubuh manusla juga mcngatur pertumbuhan sosial. Manusia sebagai individu tidak bebas dalam menentukan arah pertumbuhan masyarakat. Manusia sebagai individu justru ditentukan oleh masyarakat dalam pertumbuhannya. Masyarakat berdiri sendiri dan berkembang bebas dari kemauan dan tanggung ja anggotanya di bawah kuasa hukum alam.


Hubungan individu dan masyarakat berdasarkan kolektivisme. Menurut pandangan kolektif masyarakat mempunyai realitas yang kuat. Segala sesuatu kepentingan individu ditentukan oleh masyarakat. Masyarakat mengatur secara seragam untuk kepentingan kolektif.


Menurut Peter Jarvis (1986) yang dikutip oleh DR Wuradji MS (1988) Karl Mark, Bowles, Wailer dan Illich tokoh paham kolektif yang berpendapat bahwa individu tidak mempunyai kebebasan, kebebasan pribadi dibatasi oleh kelompok elite (kelompok atas yang berkuasa) dengan mengatas namakan rakyat banyak.


Konsep masyarakat kolektif ini diterapkan pada paham totalitas di negara-negara komunis seperti RRC. Di dalam negara komunis individu tidak mempunyai hak untuk mengatur kepentingan diari sendiri, segala kebutuban diatur oleh negara. Negara diperintah oleh satu partai politik komunis. Dalam negara komunis ini makan, pakaian, perumahan dan kerja diatur oleh negara, individu tidak punya pilihan lain kecuali yang telah ditentukan oleh negara. Semua hak milik individu seperti yang dimiliki orang-orang atau keluarga di negara kita ini tidak ada.


Hubungan individu dan masyarakat menurut paham individualistis. Individualisme suatu paham yang menyatakan bahwa dalam kehidupan seorang individu kepentingan dan kebutuhan individu yang lebih penting dan pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Individu yang menentukan corak masyarakat yang dinginkan. Masyarakat harus melayani kepentmgan individu. Individu mempunyai hak yang mutlak dan tidak boleh dirampas oleh masyarakat demi kepentingan umum.


Paham individualisme juga disebut Atomisme. Atomisme berpendapat bahwa hubungan antara individu itu seperti hubungan antar atom-atom yang membentuk molekul-molekul. Oleh karena itu hubungan in bersifat lahiriah. Bukan kesatuan yang penting tetapi keaneka ragaman yang penting dalam masyarakat.


Pandangan individualistis ini yang otomistis ini berakar pada nominalisme suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa konsep-konsep umum itu tidak mewakili realitas dari sesuatu hal. Yang menjadi realitas itu individu. Realitas masyarakat itu ada karena individu itu ada. Jika individu tidak ada maka masyarakat itu tidak ada. Jadi adanya individu itu tidak tergantung pada adanya masyarakat.


J.J. Rousseau (1712-1778) dalam bukunya "kotrak sosial" menjelaskan paham liberalisme dan individualisme dalam satu kalimat yang terkenal: “Manusia itu dilahirkan merdeka, tetapi di mana-mana dibelenggu” (Driarkara SY, 1964, p. 109). Manusia itu bebas (merdeka) dan hidup pada lingkungan sekitar dan sesamanya. Hidup dalam lingkungan tertutup dari lingkungan dan sesamanya itu manusia merasa bahagia. Masyarakat hanya merupakan suatu kumpulan atau jumlah orang yang secara kebetulan saja berkumpul pada suatu tempat seperti butli-butir pasir tersebut di atas. Tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Masyarakat terbina karena orang-orang yang kebetulan tidak berhubungan satu sama lain itu berhubungan disebabkan oleh adanya suatu kebutuhan, sehingga masing-masing individu itu mengadakan kontrak sosial untuk hidup bersama. Bentuk kerja sama dalam hidup bersama itu dibatasi oleh kebutuhan masing-masing individu. Hanya sampai pada batas tertentu saja individu itu hidup dalam masyarakat. Makin banyak kebutuhan seorang yang dapat dtharapkan dari masyarakat maka hubungan dengan masyarakat makin erat, sebaliknya makin sedikit kebutuhannya dalam masyarakat makin renggang hubungannya dengan masyarakat.


Paham yang memandang hubungan antara individu dan masyarakat dari segi interaksi. Dari uraian tersebut di atas kita telah mengetahui paham totalisme dan individualisme yang masih berpijak pada satu kutub. Paham totalisme berpijak pada masyarakat, sebaliknya paham individualisme. Totalisme mengabaikan peranan individu dalam masyarakat sebaliknya, paham individualisme mengabaikan peranan masyarakat dalam kehidupan individu. Oleh karena itu kedua-duanya diliputi oleh kesalahan detotalisme. Pabam individu memandang manusia sebagal seorang individu itu sebagai segala-galanya di luar individu itu tidak ada. Jadi masyarakat pun pada dasarnya tidak ada yang ada hanya individu. Sebaliknya paham totalisme memandang masyarakat itu segala di luar masyarakat itu tidak ada. Jadi individu itu hanya ada jika masyarakat itu ada. Adanya individu itu terikat pada adanya masyarakat.


Paham yang ketiga ini memandang masyarakat sebagai proses di mana manusia sendiri mengusahakan kehidupan bersama mcnurut konsepsinya dengan bertanggung jawab atas hasilnya. Manusia tidak berada
di dalam masyarakat bagaikan burung di dalam kurungannya, melainkan ia bermasyarakat. Masyarakat bulcan wadah melainkan aksi, yaitu social action. Masyarakat terdiri dari sejumlab pengertian, perasaan, sikap, dan tindakan, yang tidak terbilang banyaknya. Orang berkontak dan berhubungan satu dengan yang lain menurut pola-pola sikap dan perilaku tertentu, yang entah dengan suka, entah terpaksa telah diterima oleh mereka. Umumnya dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang akan menyesuaikan kelakuan mereka dengan pola-pola itu. Seandainya tidak, hidup sebagai manusia menjadi mustahil. “Masyarakat sebagai proses” dapat dipandang dari dua segi yang dalam kenyataannya tidak dipisahkan satu dengan yang lain karena merupakan satu kesatuan. Pertama masyarakat dapat dipandang dari segi anggotanya yang membentuk, mendukung, menunjang dan meneruskan suatu pola kehidupan tertentu yang kita sebut masyarakat. Kedua masyarakat dapat ditinjau dari segi pengaruh struktumya atas anggotanya. Pengaruh ini sangat penting sehingga boleh dikatakan bahwa tanpa pengaruh ini manusia satu persatu tidak akan hidup. Marilah kita perhatikan bagaimana jika pengaruh masyarakat yang berupa kepemimpinan, bahasa, hukum, agama, keluarga, ekonomi, pertahanan, moralitas dan lain sebagainya. Tanpa itu semua manusia satu persatu tidak akan berdaya, ia akan jatuh ke dalam suatu keadaan, di mana-mana manusia tidak akan berdaya dan manusia akan hancur oleh kekuatan-kekuatan alam dan nalurinya sendin.


Hubungan individu-masyarakat yaitu bahwa hidup bermasyarakat adalah ciptaan dan usaha manusia sendiri. Manusia berkeluarga, ia berkelompok. Selalu membuat sesuatu dan berbuat. Keluarga, kelompok, masyarakat dan negara tidak merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri di luar. Mereka ada usaha manusia, yang terus dipertahankan, dipelihara, ditunjang, atau apabila perlu-diubahkan atau diganti oleh manusia. Mereka adalah bagian hidupnya. Mereka adalah bentuk perilaku yang tergantung dari dia. Hidup bermasyarakat yang diusahakan dan diciptakan sendiri, bertujuan untuk memungkinkan perkembangannya sebagai manusia. Sebab tanpa masyarakat tidak ada hidup individual yang manusiawi. Jadi manusia sekaligus membentuk dan dibentuk oleh hasil karyanya sendiri, yaitu masyarakat. Manusia tidak bebas dalam arti bahwa ia bebas memilih antara hidup sendiri atau hidup berbagai dengan orang lain. Ia harus hidup berbagai agar tidak hancur. Tetapi cara dan bentuk hidup berbagai itu ditentukannya dengan bebas. Tidak ada satu pola kebudayaan yang mutlak dan universal. Jadi ada relasi timbal balik antara individu. Di satu pihak individu ikut membentuk dan menegakkan masyarakat, dan ia bertanggungjawab. Di lain pihak masyarakat menghidupi individu dan oleh karenanya bersifat mengikat bagi dia.


Hubungan antara masyarakat dan individu dapat digambarkan sebagai kutub positif dan kutup negatif pada aliran listrik. Jika dua kutub itu dihubungkan listrik ia akan mampu memberi kekuatan baginya dan menimbulkan suasana yang cerah. Jika individu dan masyarakat dipersatukan maka kehidupan individu dan masyarakat akan lebih bergairah dan suasana kehidupan individu dan kehidupan masyarakat akan lebih bermakna dan hidup serta bergairrah.


HUBUNGAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT DI INDONESIA


Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui bahwa hubungan individu dan masyarakat itu dapat ditinjau dari segi masyarakat saja (totalisme), ditinjau dari segi individu saja (individualisme) dan ditinjau dari segi interaksi individu dan masyarakat. Dengan memperhatikan tiga pandangan ini maka bagaimana hubungan individu dan masyarakat di Indonesia? Profesor Supomo menyatakan bahwa hubungan antara warga negana dan negara Indonesia adalah hubungan yang integral. Driyarkara SY menyatakan bahwa hubungan masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah hubungan yang integral (Driyarkara, 1959, p. 225). Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa paham yang dianut untuk menggambarkan hubungan antara individu dan masyarakat di Indonesia adalah paham integralisme.


Paham inntegralisme berpendapat bahwa individu-individu yang bermacam-macam itu merupakan suatu kesatuan dan keseluruhan yang utuh. Manusia dalam masyarakat yang teratur dan tertib itu berada dalam suatu integrasi. Menurut Dniyarkara SY integrasi semacam ini dapat berarti dalam arti sosiologis dan psikologis, sebab manusia yang berada dalam integrasi itu merasa aman, tenang dan bahagia. Integrasi semacam ini terdapat dalam masyanakat kecil maupun besar, seperti keluarga, desa dan negara.
Menurut peneitian J. H. Boeke (1953) yang dikutip oleb Driyarkara SY (1959, p. 229-230) terhadap masyarakat Tenganan dan masyarakat Badui serta Tengger disimpuilcan bahwa dalam masyarakat yang integral akan terlihat adanya unsur-unsur pokok sebagai berikut: (1) keyakinan tentang adanya hubungan antara manusia dan dunia yang tak terlihat, (2) hubungan antara manusia dengan tanah tumpah darah yang sangat erat, (3) hubungan antara manusia dengan keluarga yang erat, (4) suatu bentuk masyarakat di mana semua anggotanya mengerti seluk beluk masyarakatnya, (5) kehidupan material yang layak karena orang mengerti bagaimana mencari kehidupan itu.


Hubungan individu dan masyarakat dalam Indonesia merdeka seperti yang dimaksud Prof. Supomo dapat diperhatikan dalam rumusan Proklamasi Kemerdekaan RI, Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN. Dalam Proklamasi dirumuskan: Kami bangsa Indonesia dengan mi menyatakan kemerdekaannya. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Atas nama bangsa Indonesia. Sukarno Hatta. (Nugroho Notosusanto, 1983, p. 17). Penggunaan kata kami dan atas nama bangsa Indonesia menunjukkan bahwa negara yang dikemer dekaan itu untuk semua warga bangsa Indonesia, bukan untuk Sukarno maupun Hatta. Hal ini berarti bahwa kemerdekaan untuk seluruh bangsa Indonesia diperjuangkan oleh masing-masing warga bangsa Indonesia. Jadi individu dan masyarakat terinntegrasi untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemederkaan Indonesia. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Pada alinea kedua dinyatakan bahwa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah mengantarkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pada alinea yang ketiga atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan yang luhur supaya berkebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada alinea keempat dinyatakan bahwa pemerintahan negara Indonesia yang dibentuk adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa kepentingan yang diperjuangkan adalah masyarakat secara keseluruhan dan individu-individu sebagai warga bangsa secara perseorangan.


Perhatian terhadap masyarakat dan individu dapat dijumpai pada pasal-pasal dalam UUD 1945 seperti pasal 30 yang mengatur hak dan kewajiban warga negara untuk membela negara, pasal 31 yang mengatur hak dan kewajiban tentang pengajaran bagi tiap-tiap warga negara dan pemerintah, pasal 33 yang mengatur tentang (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) bumi dan air dan kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat, pasal 34 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Dalam pasal 27 dijelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 menyatakan tiap-tiap warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang. Pasal 29 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pada pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dan kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Jika pasal demi pasal tersebut di atas diperhatikan maka jelas bahwa individu dan masyarakat diberi kewajiban dan hak dalam mengejar kehidupan yang bahagia sejahtera.


Dalam Ketetapan MPR nomor II/MPR/l988 tentang tujuan pembangunan nasional dijelaskan bahwa pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara Kesatauan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Dan pemyataan ini dapat diketahui bahwa kepentingan individu dan kepentingan bersama-sama mendapat perhatian dan diberi tempat yang sama dalam menciptakan kehidupan yang bahagia sejahtera.
Berdasarkan ketetapan MPR NO. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dijelaskan tentang Pandangan Pancasila terhadap hubungan individu dan masyarakat bahwa. kebahagian manusia akan tercapai jika dapat dikembangkan hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang antara manusia dan masyarakat. Hubungan sosial yang selarasdan serasi, selaras dan seimbang itu antara individu dan masyarakat itu tidak netral, tetapi dijiwai oleh nilai-nilal yang terkandung dalam lima sila dalam Pancasila secara kesatuan.


Dan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan integralisme ini tidak lain adalah pandangan Pancasila yang memandang hubungan individu dan masyarakat itu secara serasi selaras dan seimbang dalam menciptakan manusia yang sejahtera dan bahagia lahir batin, dunia dan akhirat.

FUNGSI SOSIAL AGAMA


Sebagaimana institusi sosial lainnya, agama juga memiliki fungsi yang sangat urgen bagi masyarakat. Fungsi ini sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pemeliharaannya. Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).

Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
1. Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilai-nilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat.
Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. O’Dea mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia. Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas, ia mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:
a. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu manusia dalam menghadapi ketidakpastian.
b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara peribadatan, karenanya agama memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat ditengah kondisi ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang dihadapi manusia.
c. Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas kepentingan individu dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn demikian agama berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi alokasi pola-pola masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas.
d. Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya, yaitu memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama agama yang menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan pada masyarakat yang mapan.
e. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peranserta manusia dalam ritual agama dan do’a, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dalam periode perubahan dan mobilitas sosial yang berlangsung cepat, sumbangan agama terhadap identitas menjadi semakin tinggi. Salah satu contoh tentang hal ini dikemukakan oleh Will Herberg melalui studinya tentang sosiologi agama Amerika di tahun 1950-an, dimana salah satu cara penting dimana orang Amerika membentuk identitasnya adalah dengan menjadi salah satu anggota dari “tiga agama demokrasi”, yaitu: Protestan, katholik, dan Yahudi.
f. Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu, serta perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.
Dari keenam fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak bahwa agama memiliki peran yang urgen tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus bagi masyarakat. Bagi individu, agamaberperan dalam mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Sedangkan bagi kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan.

2. Fungsi Disintegratif Agama
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Pada bagian ini, pembicaraan tentang fungsi disintegratif agama akan lebih memfokuskan perhatian pada beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari agama.
Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu:
a. Perbedaan doktrin dan sikap mentalDalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang memiliki kebenaran (claim of truth) sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna.
Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial yang berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah menutup sisi rasional yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun saling pengertian antar pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan supra-rasional, yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi akan eksistensi sikap-sikap tersebut.
b. Perbedaan suku dan ras pemeluk agama
Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam mempersatukan orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan semakin mempertegas konflik tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari fakta sejarah bahwa bangsa kulit putih yang notabene beragama Kristen merasa menjadi bangsa pilihan yang ditugaskan untuk mempersatukan kerajaan Allah di dunia dengan menaklukkan bangsa lain yang non-Kristen.
c. Perbedaan tingkat kebudayaan
Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Peter Berger menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam semesta dengan cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan peran dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta maka munculnya ketegangan yang disebabkan karena perbedaan tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama dalam menyediakan nilai-nilai yang disatu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran bagi perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat dan mengekang pemikiran tersebut.
Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami serta menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan kemajuan atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam menghadapi fenomena kehidupan sosial yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu kajian fenomenal terhadap fenomena ini adalah apa yang diungkapkan secara panjang lebar oleh Max Weber tentang pengaruh protestantisme dalam mendorong munculnya kapitalisme.
d. Masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama
Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah mayoritas dan minoritas seringkali menjadi faktor penyebab munculnya konflik sosial. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena konflik mayoritas-minoritas, yaitu: (1) agama diubah menjadi suatu ideologi; (2) prasangka mayoritas terhadap minoritas atau sebaliknya; (3) mitos dari mayoritas.
Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang mayoritas seringkali mengembangkan suatu bentuk ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana kepentingan politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas yang akan bermuara pada timbulnya konflik sosial.
Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan keagamaan diatas, kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi konflik yang terkandung pada masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama memperoleh perhatian serius, termasuk dari kalangan peneliti sosial keagamaan dalam memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai dengan permasalahan keagamaan yang dihadapi. Ketepatan memilih perspektif tentu saja akan mampu menghadirkan gambaran riil dari permasalahan yang ada sehingga harapan untuk memunculkan berbagai soslusi alternative bagi pemecahan masalah tersebut bisa lebih optimal.
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu pentingnya posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada

PEMUDA DAN SOSIALISASI SERTA PERANANNYA DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT

1. Pengertian Pemuda
Telah kita ketahui bahwa pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah nilai.hal ini merupakan pengertian idiologis dan kultural daripada pengertian ini. Didalam masyarakat pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya karma pemuda sebagai harapan bangsa dapat diartikan bahwa siapa yang menguasai pemuda akan menguasai masa depan.
Ada beberapa kedudukan pemuda dalam pertanggungjawabannya atas tatanan masyarakat,antara lain :
a. Kemurnian idealismenya
b. Keberanian dan Keterbukaanya dalam menyerap nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang baru
c. Semangat pengabdiannya
d. Sepontanitas dan dinamikanya
e. Inovasi dan kereativitasnya
f. Keinginan untuk segera mewujudkan gagasan-gagasan baru
g. Keteguhan janjinya dan keinginan untuk menampilkan sikap dan keperibadiannya yang mandiri
h. Masihlangkanya pengalaman-pengalaman yang dapat merelevansikan pendapat,sikap dan tindakanya dengan kenyatan yang ada.

2 Sosialisasi Pemuda
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu melalui media pembelajaran dan penyesuaian diri,bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi,baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.Ada beberapa hal yang perlu kiya ketahui dalam sosialisasi,antara lain: Proses Sosialisasi, Media Sosialisasi dan Tujuan Sosialisasi.
a) Proses sosialisasi
Istilah sosialisasi menunjuk pada semua factor dan proses yang membuat manusia menjadi selaras dalam hidup ditengah-tengah orang kain. Proses sosialisasilah yang membuat seseorang menjadi tahu bagaimana mesti ia bertingkah laku ditengah-tengah masyarakat dan lingkunga budayanya. Dari proses tersebut,seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya.
Semua warga negara mengalami proses sosialisasi tanpa kecuali dan kemampuan untuk hidup ditengah-tengah orang lain atau memgikuti norma yang berlaku dimasyarakat. Ini tidak datang begitu saja ketika seseorang dilahirkan,melainkan melalui proses sosialisasi.

b) Media Sosialisasi
o Orang tua dan keluarga
o Sekolah
o Masyarakat
o Teman bermain
o Media Massa.

c) Tujuan Pokok Sosialisasi
o Individu harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di masyarakat.
o Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengenbangkankan kemampuannya.
o Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.
o Bertingkah laku secara selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan pada masyarakat umum.

3. Hakekat Pemuda
Ada beberapa hakekat kepemudaan yang ditinjau dari dua asumsi :
1. pengkhayatan mengenai proses perkembangan manusia bukan sebagai suatu kontinum yang sambung menyambung tetapi fragmentaris, terpecah-pecah, dan setiap fragmen mempunyai artinya sendiri-sendiri. Pemuda dibedakan dari anak dan orang tua dan masing-masing fragnen itu mewakili nilai sendiri.
2. merupakan tambahan dari asumsi wawasan kehidupan ialah posisi pemuda dalam arah kehidupan itu sendiri.Pemuda sebagai suatu subjek dalam hidup, tentulah mempunyai nilai sendiri dalam mendukung dan menggerakan hidup bersama. Hal ini hanya bisa terjadi apabila tingkah laku pemuda itu sendiri ditinjau sebagai interaksi dalam lingkungannya dalam arti luas.
Ciri utama dari pendekatan ini melingupi dua unsur pokok yaitu unsur lingkungan atau ekologi sebagai kesekuruhan dan kedua,unsure tujuan yang menjadi pengarah dinamika dalam lingkungan itu.Keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya adalah suatu keseimbangan yang dinamis, suatu interaksi yang bergerak.Arah gerak itu sendiri mungkin ke arah perbaikan mungkin pula ke arah kehancuran.

4. Peranan Pemuda Dalam Pembangunan Masyarakat ,Bangsa dan Negara
Dalam hubungannya dengan sosialisasi geenerasi muda khususnya mahasiswa telah melaksanakan proses sosialisasi dengan baik dan dapat dijadikan contoh untuk generasi muda, mahasiswa pada khususnya pada saat ini.
Proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 ternyata perlu ditebus dengan pengorbanan yang tinggi. Oleh karena segera setelah proklamasi pemuda Indonesia membentuk organisasi yang bersifat politik maupun militer, diantaranya KAMI(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang didirikan oleh mahasiswa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
KAMI menjadi pelopor pemdobrak kearah kehidupan baru yang kemudian dikenal dengan nama orde baru (ORBA). Barang siapa menguasai generasi muda, berarti menguasai masa depan suatu bangsa, demikian bunyi suatu pepatah. Berarti masa depan suatu bangsa itu terletak ditangan generasi mudas.
Kalau dilihat lebih mendalam, mahsiswa pada garis besarnya mempunyai peranan sebagai :
a. agent of change
b. agent of development
c. agent of modernizatiom
Sebagai agent of change, mahasiswa bertugas untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat kearah perubahan yang lebih baik. Sedangkan agent of development, mahasiswa bertugas untuk melancarkan pembangunan di segala bidang, baik yang bersifat fisik maupun non fisik.Sebagai agent of modernization, mahasiswa bertugas dan bertindak sebagai pelopor dalam pembahruan.

5. Beberapa Permasalahan Dan Tantangan
Perubahan-perubahan sosial budaya yang terjadi sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang diikuti oleh masalah peledakan penduduk dan berbagai krisis dunia dalam bidsng ekonomi, social, budaya, politik dan pertahanan keamanan, telah mempengaruhi masyarakat secara mendasar.
Pengaruh itu drasakan pula oleh generasi muda atau pemuda sebagai masalah langsung menyangkut kepentingannya di masa kini dan tantangan yang dihadapinya di masa yang akan dating. Secara garis besar, permasalahan generasi muda itu dapat dilihat dari berbagai aspek sosial, yang meliputi :
a. Aspek Sosiologi Psikhologi
b. Aspek Sosial Budaya
c. Aspek Sosial Ekonomi
d. Aspek Sosial Politik

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, taufik, Pemuda dan Perubahan Social, LP3ES, Jakarta, 1974.
Bayo ala, Andre, Krisis Sosialisasi Politik, Majalah Mahasiswa, No. 32 Tahun VI, November 1982.
Chilcote, Ronald H, Theories of Comparative Politics, A Search for a Paradigm, Westview Press, Boulder Colorado, 1981.

Read more: http://www.homeartikel.co.cc/2009/06/pemuda-dan-sosialisasi-serta-peranannya.html#ixzz0a5wL522X

NEGARA DAN WARGANEGARA DALAM SISTEM KENEGARAAN DI INDONESIA

Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa sajayang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, makastatus anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medisyang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraanyang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu.Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman sepertiyang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis.Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukumIndonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.
KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN
Orang-orang ‘Cina’ peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang ‘Cina’, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya.
Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu ‘sreg’ dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu malah lebih ‘distingtif’ atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat di luar keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau ‘Tionghoa’ itu sendiri mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’ yang dianggap cenderung ‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang bernuansa kebanggaan bagi orang ‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain, penggunaan istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority complex’ dari kalangan masyarakat ‘Cina’ peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya ‘superiority complex’ penduduk keturunan ‘Cina’ dipersubur pula oleh kenyataan masih diterapkannya sistem penggajian yang ‘double standard’ di kalangan perusahaan-perusahaan keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis ‘Cina’. Karena itu, penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran tersebut.
Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’ dan warga keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat non-diskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan.
Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada nusantara ini.
PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warganegara Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.

Urbanisasi

Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.

Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi Urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam, yakni: Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk, Bedanya Migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak menetap.

Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya.

Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik. Di bawah ini adalah beberapa atau sebagian contoh yang pada dasarnya dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan urbanisasi perpindahan dari pedesaaan ke perkotaan.

A. Faktor Penarik Terjadinya Urbanisasi

  1. Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah
  2. Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap
  3. Banyak lapangan pekerjaan di kota
  4. Di kota banyak perempuan cantik dan laki-laki ganteng
  5. Pengaruh buruk sinetron Indonesia
  6. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan berkualitas

B. Faktor Pendorong Terjadinya Urbanisasi

  1. Lahan pertanian yang semakin sempit
  2. Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya
  3. Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa
  4. Terbatasnya sarana dan prasarana di desa
  5. Diusir dari desa asal
  6. Memiliki impian kuat menjadi orang kaya

Hubungan Desa dan Kota

Definisi Interaksi Desa – Kota

Mungkin kalian sekarang sudah mulai paham isi dari sinopsis yang menyatakan kalau desa dan kota
itu ada hubungan. Hubungan ini dinamakan dengan interaksi wilayah yaitu wilayah desa dan Kota. Jadi menurutmu apa yang dimaksud dengan interaksi wilayah ( Spatial Interaction ) ?

Interaksi wilayah (Spatial Interaction) adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara dua wilayah atau lebih, yang dapat melahirkan gejala, kenampakkan dan permasalahan baru, secara langsung maupun tidak langsung, sebagai contoh antara kota dan desa.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi antar wilayah memiliki tiga prinsip pokok sebagai berikut :

  1. Hubungan timbal – balik terjadi antara dua wilayah atau lebih
  2. Hubungan timbal balik mengakibatkan proses pengerakan yaitu :
    • Pergerakan manusia (Mobilitas Penduduk)
    • Pergerakan informasi atau gagasan, misalnya : informasi IPTEK, kondisi suatu wilayah
    • Pergerakan materi / benda, misalnya distribusi bahan pangan, pakaian, bahan bangunan dan sebagainya
  3. Hubungan timbal balik menimbulkan gejala, kenampakkan dan permasalahan baru yang bersifat positif dan negatif, sebagai contoh :
    • kota menjadi sasaran urbanisasi
    • terjadinya perkawinan antar suku dengan budaya yang berbeda

Faktor Interaksi Desa – Kota

Menurut kalian adakah faktor yang mempengaruhi sehingga terjadi interaksi keruangan antara
desa – kota? Jawabannya adalah ada dan faktor tersebut dikemukakan oleh Edward Ulman yang terdiri dari faktor - faktor, yaitu :

  1. Adanya wilayah – wilayah yang saling melengkapi (regional complementarity) artinya, terdapat kebutuhan timbal balik antar wilayah sebagai akibat adanya perbedaan potensi yang dimiliki oleh tiap wilayah.

  2. Adanya kesempatan untuk berintervensi (intervening opportunity) artinya, kedua wilayah memiliki kesempatan melakukan hubungan timbal balik serta tidak ada pihak ketiga yang membatasi kesempatan itu. Adanya campur tangan /intervensi pihak ketiga (wilayah ketiga) dapat menjadi penghambat atau melemahkan interaksi antara dua wilayah.


  3. Adanya kemudahan transfer/ pemindahan dalam ruang (spacial transfer ability) artinya kemudahan transfer atau pemindahan dalam ruang baik manusia, informasi ataupun barang sangat bergantung dengan faktor jarak, biaya angkasa (transportasi) dan kelancaran prasarana transportasi. Jadi semakin mudah transferbilitas, maka akan semakin besar arus komoditas.

Aspek Interaksi Desa – Kota

Di antara kalian ada yang bisa menyebutkan aspek–aspek interaksi desa – kota? Dalam interaksi desa – kota terdapat beberapa aspek penting yang timbul akibat interaksi tersebut. Aspek interaksi desa – kota adalah sebagai berikut:

  1. Aspek Ekonomi, meliputi :
    • Melancarkan hubungan antara desa dengan kota
    • Meningkatkan volume perdagangan antara desa dengan kota
    • Meningkatkan pendapatan penduduk
    • Menimbulkan kawasan perdagangan
    • Menimbulkan perubahan orientasi ekonomi penduduk desa
  2. Aspek Sosial, meliputi :
    • Terjadinya mobilitas penduduk desa dan kota
    • Terjadinya saling ketergantungan antara desa dengan kota
    • Meningkatnya wawasan warga desa akibat terjalinnya pengaruh hubungan antara warga desa dengan warga kota
  3. Aspek Budaya meliputi :
    • meningkatnya pendidikan di desa yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sekolah dan siswanya yang bersekolah
    • Terjadinya perubahan tingkah laku masyarakat desa yang mendapatkan pengaruh dari masyarakat kota
    • Potensi sumber budaya yang terdapat di desa hingga melahirkan arus wisatawan masuk desa

Teori Interaksi Desa – Kota

Tahukah kalian bahwa ada beberapa teori yang mendukung tentang terjadinya interaksi desa- kota. Salah satunya adalah teori yang dikemukakan oleh William J. Reilly yaitu teori titik henti (breaking point theory)


Inti dari teori titik henti ini adalah “jarak titik henti atau titik pisah dari pusat perdagangan yang lebih kecil ukurannya adalah berbanding lurus dengan jarak antara kedua pusat perdagangan itu, dan berbanding terbalik dengan satu di tambah akar kuadrat jumlah penduduk dari kota atau wilayah yang penduduknya lebih besar dibagi dengan jumlah penduduk kota atau wilayah yang lebih sedikit penduduknya.”

Secara sistematis, teori titik henti ini dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan :
DAB = Lokasi titik henti, yang diukur dari kota atau wilayah yang jumlah penduduknya lebih kecil
dAB = Jarak kota A dan B
PA = Jumlah Penduduk kota A yang lebih besar
PB = Jumlah Penduduk kota B yang lebih kecil

Contoh soal:
Jumlah penduduk kota A = 20.000 orang, kota B = 10.000, Jarak kota A dengan kota B adalah 50 Km. dari data tersebut, berapa jarak lokasi titik henti antara kota A dan kota B?

Penyelesaian contoh soal:


Diketahui :

dAB= 50 Km
PA = 20.000 Orang
PB = 10.000 Orang


Ditanyakan ?

DAB

Jawab:

Jadi lokasi titik henti antara kota A dan B adalah 20,74 km diukur dari kota B.

Manfaat Interaksi Desa – Kota

Menurut pemikiran kalian adakah manfaat dengan adanya interaksi desa – kota? Dengan adanya interaksi desa – kota dapat memberikan beberapa manfaat bagi desa maupun bagi kota, diantaranya :

  1. meningkatnya hubungan sosial ekonomi antara penduduk desa dan kota
  2. pengetahuan penduduk desa meningkat
  3. dapat menumbuhkan arti pentingnya pendidikan bagi penduduk desa
  4. dapat menumbuhkan heterogenitas mata pencarian penduduk desa
  5. terjadinya peningkatan pendapatan
  6. terpenuhinya berbagai kebutuhan penduduk baik di perkotaan maupun pedesaan

Dampak Interaksi Desa – Kota

Interaksi antara dua wilayah akan melahirkan gejala baru yang meliputi aspek ekonomi, sosial, maupun budaya. Gejala tersebut dapat memberikan dampak bersifat menguntungkan (positif) atau merugikan (negatif ) bagi kedua wilayah. Demikian pula halnya gejala interaksi antara dua desa dan kota. Di bawah ini kalian akan melihat tabel dampak interaksi desa – kota.

Tabel Dampak Interaksi Desa - Kota

No

Dampak wilayah

Positif

Negatif

1

Desa

  • Meningkatnya Cakrawala pengetahuan penduduk desa
  • Terjadinya penetrasi kebudayaan dari kota ke desa yang tidak sesuai dengan tradisi masyarakat pedesaan.

  • Masuknya teknologi tepat guna ke desa meningkatkan produksi lahan dan berdampak meningkatnya pendapatan masyarakat
  • Terjadinya perubahan tata guna lahan yang dapat menimbulkan kerusakkan lingkungan

  • Terjadi perubahan tata guna lahan yang menguntungkan
  • Terjadinya kekurangan tenaga potensial di desa karena banyak yang berurbanisasi

  • Terjadi perkembangan sarana – prasarana transportasi penghubung desa dengan kota, sehingga desa tidak lagi terisolir
  • Kemungkinan banyaknya orang yang kembali ke desa akan menyebabkan semakin padatnya desa

  • Terbentuknya lapangan kerja alternatif di luar sektor pertanian

  • Masuknya barang – barang produksi industri yang terjadi tidak ada

2

Kota

  • Kemajuan bidang transportasi yang menghubungkan desa dengan kota
  • Munculnya daerah-daerah kumuh (slums area) akibat dari makin banyaknya pendatang.

  • Menyebabkan terpenuhinya kebutuhan bahan baku bagi proses produksi dan tenaga kerja
  • Tata ruang kota menjadi tidak ideal sebagai tata ruang kota yang dinamis

  • Tersalurnya hasil–hasil produksi di wilayah pedesaan
  • Masuknya orang dari berbagai daerah dan budaya, sangat potensial bagi munculnya konflik antar etnis

  • Masuknya penduduk dari berbagai daerah dan budaya melahirkan proses akulturasi antara berbagai kebudayaan tersebut.

  • Memungkinkan terjadinya pernikahan antar suku, yang akan meningkatkan rasa sebangsa dan setanah air.